Dinamika UMKM Kuliner di Kota Malang : Antara Ketergantungan Mahasiswa dan Potensi Pariwisata
Kota Malang, dengan luas hanya sekitar 111 kilometer persegi, telah lama dikenal sebagai kota pendidikan, kota wisata, dan kota kuliner. Di berbagai sudut kota, kita dengan mudah menemukan ragam usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bergerak di bidang kuliner. Mereka menyuguhkan aneka makanan dan minuman yang tak hanya mengisi perut, tetapi juga menjadi bagian dari atraksi wisata kota. Fenomena ini menunjukkan bagaimana sektor kuliner telah tumbuh menjadi pilar penting dalam pembangunan ekonomi lokal dan pariwisata kota.
Namun, di balik geliat UMKM kuliner ini, terdapat dinamika sosial dan ekonomi yang menarik untuk dikaji. Ketergantungan yang cukup tinggi terhadap populasi mahasiswa dan pelajar pendatang menimbulkan pertanyaan tentang ketahanan dan keberlanjutan sektor ini, khususnya saat musim libur tiba.
UMKM Kuliner : Denyut Nadi Kota Malang
UMKM kuliner di Kota Malang tumbuh subur seiring dengan meningkatnya jumlah mahasiswa dan pelajar yang datang dari berbagai penjuru Indonesia. Keberadaan kampus-kampus besar seperti Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, dan berbagai sekolah tinggi lainnya menjadikan Kota Malang sebagai magnet pendidikan sekaligus pasar yang menjanjikan bagi pelaku usaha kuliner.
Di sepanjang jalan-jalan utama dan gang-gang kecil, kita menemukan pedagang kaki lima, warung tenda, gerobak makanan, serta kafe dan tempat makan kecil yang menyajikan aneka makanan khas. Mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari mahasiswa, tetapi juga menjadi bagian dari gaya hidup dan pengalaman tinggal di Malang. Tak jarang, kuliner-kuliner lokal ini kemudian menjadi cerita yang dibawa pulang oleh mahasiswa ke daerah asal mereka.
Ketergantungan terhadap Mahasiswa
Seperti yang diungkapkan oleh Pak Rudi, seorang penjual roti bakar khas Bandung di bilangan Mertojoyo, sebagian besar pelaku UMKM kuliner sangat bergantung pada populasi mahasiswa. Ketika musim libur semester tiba, penurunan drastis dalam jumlah konsumen langsung berdampak pada omzet mereka. Dalam konteks ini, mahasiswa bukan hanya pelanggan, tetapi menjadi “jantung pasar” bagi sektor informal kuliner di kota ini.
Ketergantungan ini menciptakan siklus musiman yang penuh ketidakpastian. Pada musim aktif perkuliahan, usaha-usaha ini ramai dan hidup. Sebaliknya, pada masa libur, banyak di antaranya terpaksa tutup sementara atau mengalami penurunan drastis dalam pendapatan. Hal ini menandakan adanya kerentanan struktural dalam model bisnis mereka.
Kuliner Formal : Medium dan Papan Atas
Di sisi lain, terdapat pula pelaku usaha kuliner yang beroperasi dalam sektor formal dengan skala menengah hingga papan atas. Contoh menarik dapat dilihat pada Mie Gacoan di daerah Tlogomas. Meskipun menyasar segmen pasar mahasiswa, usaha ini telah tumbuh menjadi jaringan bisnis nasional dengan strategi penataan ruang dan manajemen yang sangat profesional. Keberhasilannya bukan hanya karena kelezatan makanan, tetapi juga karena daya tarik tempat, harga yang terjangkau, serta konsistensi pelayanan.
Contoh lain adalah Rumah Makan Hindia di Jalan Simpang Ijen, yang menyasar kalangan menengah ke atas. Rumah makan ini menawarkan kuliner berkualitas tinggi dengan atmosfer elegan. Pelanggannya sebagian besar adalah warga lokal dari kelas sosial atas dan wisatawan domestik maupun mancanegara. Tempat ini menjadi destinasi kuliner tersendiri, yang tidak terpengaruh oleh dinamika mahasiswa, karena berada dalam jaringan pariwisata yang lebih luas.
Perbedaan Pola Konsumen dan Ketahanan Usaha
Perbedaan mencolok antara sektor informal dan formal dalam kuliner kota Malang terletak pada pola konsumen dan daya tahan terhadap fluktuasi musiman. Sektor informal sangat rentan terhadap perubahan jumlah mahasiswa, sementara sektor formal mampu bertahan karena memiliki basis konsumen yang lebih luas, termasuk wisatawan dan warga lokal yang mapan secara ekonomi.
UMKM informal biasanya tidak memiliki strategi pemasaran yang kuat, tidak tergabung dalam jaringan distribusi atau promosi pariwisata, serta belum memanfaatkan teknologi digital secara optimal. Sementara itu, usaha formal seringkali telah memiliki sistem manajemen modern, kanal digital, serta jaringan promosi melalui media sosial, platform reservasi online, dan kerjasama dengan hotel atau agen wisata.
Pendekatan Sosiologis terhadap Perubahan Sosial
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah perubahan sosial seperti ini harus didekati secara sosiologis – yakni melihat dampak modernisasi terhadap struktur sosial. Ataukah cukup dengan melihat bagaimana UMKM mampu berdiferensiasi mengikuti perubahan zaman.
Dalam pendekatan sosiologis, UMKM kuliner di Malang bisa dilihat sebagai bagian dari transformasi masyarakat yang mengalami urbanisasi, modernisasi, dan globalisasi. Ketika struktur sosial berubah karena masuknya teknologi, meningkatnya mobilitas sosial, dan bergesernya pola konsumsi, pelaku UMKM harus mampu menyesuaikan diri. Mereka tidak bisa lagi bergantung pada pola lama seperti menunggu pelanggan datang secara pasif.
Sebaliknya, kemampuan berdiferensiasi menjadi kunci. UMKM harus mampu menemukan keunikan dalam produk, pelayanan, maupun cara penyajian. Kearifan lokal bisa menjadi modal penting, tetapi harus dikemas dengan cara yang relevan dengan selera generasi muda dan wisatawan. Misalnya, menyajikan makanan tradisional dengan kemasan modern, menggunakan media sosial untuk promosi, atau menciptakan ruang makan yang instagrammable.
Peran Pemerintah Kota : Bapak bagi UMKM
Pemerintah kota memiliki peran krusial dalam menciptakan ekosistem yang mendukung keberlanjutan UMKM kuliner. Mereka bukan hanya regulator, tetapi juga fasilitator, inisiator, dan promotor. Dalam konteks ini, pemerintah harus menyediakan program pembinaan yang konkret, termasuk pelatihan pemasaran digital, manajemen usaha, dan pengembangan produk.
Selain itu, pemerintah perlu membuka akses bagi UMKM untuk masuk ke dalam jaringan pariwisata. Misalnya, membuat panduan kuliner yang bisa dibagikan di hotel-hotel dan tempat wisata, menyediakan ruang promosi di event-event kota, dan mendorong integrasi UMKM dalam aplikasi wisata kota Malang.
Fasilitasi permodalan juga sangat penting. Pemerintah harus hadir memberikan akses ke perbankan atau lembaga keuangan mikro yang bersahabat, serta memastikan UMKM tidak terjerat pinjaman online yang merugikan. Di samping itu, penataan ruang kota yang memperhatikan keberadaan UMKM juga diperlukan agar mereka tidak terusir oleh pembangunan besar-besaran yang hanya menguntungkan investor besar.
Menuju Masa Depan yang Berkelanjutan
Untuk menjadikan UMKM kuliner di Kota Malang lebih tahan terhadap perubahan sosial dan ekonomi, dibutuhkan sinergi antara pelaku usaha, pemerintah, dan masyarakat. Perubahan tidak bisa dihindari, tetapi bisa dikelola. Modernisasi tidak harus menghilangkan kearifan lokal, sebaliknya, ia bisa menjadi jembatan untuk membawa kuliner lokal ke panggung nasional dan internasional.
Langkah-langkah konkret yang dapat diambil meliputi : Pembentukan klaster UMKM kuliner yang dikelola secara professional; Penyediaan inkubator bisnis bagi wirausaha muda di bidang kuliner; Digitalisasi UMKM secara masif melalui pelatihan dan pendampingan; Kemitraan dengan hotel, travel agent, dan platform digital; Penguatan brand kuliner khas Malang sebagai bagian dari identitas kota.
Kota Malang dengan segala potensinya memiliki peluang besar untuk menjadikan sektor kuliner sebagai tulang punggung ekonomi lokal dan daya tarik wisata utama. Namun, hal ini hanya bisa terwujud jika pelaku UMKM mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan jika pemerintah kota sungguh-sungguh hadir membimbing dan memfasilitasi mereka. Ketergantungan pada mahasiswa memang realitas saat ini, tetapi bukanlah takdir yang tak bisa diubah. Dengan kebijakan yang tepat, inovasi yang terus berkembang, dan semangat kolektif dari seluruh elemen masyarakat, UMKM kuliner Malang akan tetap tumbuh, bahkan melesat jauh ke masa depan.
Joyogrand, Malang, Sat’, June 28, 2025.



