Kasus Keracunan Massal MBG, Pakar UMJ Soroti Pengawasan Gizi dan Keamanan Pangan

Posted on

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) Hadapi Sorotan Publik

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang dirancang pemeruitah dengan tujuan memperbaiki status gizi siswa kini menghadapi sorotan publik. Hal ini terjadi setelah munculnya kasus keracunan massal di beberapa daerah.

Menurut data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), kasus keracunan akibat program MBG pada periode 29 September hingga 3 Oktober 2025 mencapai 1.883 siswa. Dengan penambahan tersebut, total siswa yang menjadi korban keracunan MBG hingga 4 Oktober 2025 tercatat mencapai 10.482 siswa.

Siswa tersebut diketahui mengalami gejala seperti mual, pusing, dan muntah setelah mengonsumsi MBG. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar, yaitu “Apakah pelaksanaan program MBG benar-benar memperhatikan pengawasan gizi dan keamanan pangan sebagaimana tujuannya?”

Peningkatan Gizi Tidak Bisa Hanya Mengandalkan Satu Kali Makan Siang

Tujuan utama program MBG adalah memperbaiki status gizi siswa melalui pemberian makanan sehat dan bernutrisi setiap hari. Namun, efektivitas program ini tidak dapat diukur hanya dari berjalannya distribusi makanan semata. Menurut dr. Tirta Prawita Sari, Sp. G.K., M.Sc., keberhasilan MBG baru dapat tercapai jika penyajian makanan benar-benar memperhatikan keseimbangan zat gizi sesuai dengan standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.

“Bila dilakukan dalam komposisi zat gizi yang sesuai dengan kelompok usia, jumlah energi yang cukup, dan memenuhi prinsip keamanan pangan, maka status gizi anak dapat meningkat,” ujarnya.

Namun, ia menegaskan peningkatan status gizi tidak bisa hanya bergantung pada satu kali makan siang saja. Faktor lain seperti penyakit yang diderita siswa atau jumlah makanan yang dimakan di luar sekolah, serta pola makan di rumah juga memiliki peran penting.



Dosen Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKK UMJ) dr. Tirta Prawita Sari, Sp. G.K., M.Sc. – (UMJ)

Keamanan Pangan Jadi Titik Lemah Pelaksanaan MBG

Kasus keracunan massal yang terjadi di berbagai daerah menunjukkan bahwa keamanan pangan masih menjadi titik lemah dalam pelaksanaan MBG. Banyak laporan menyebutkan bahwa makanan yang didistribusikan ke sekolah-sekolah sering kali sudah dalam kondisi tidak segar, bahkan beberapa disiapkan jauh sebelum jam makan siang. Kondisi tersebut menjadi celah bagi bakteri berbahaya untuk tumbuh, terutama jika suhu penyimpanan tidak terjaga.

“Keracunan bisa terjadi karena kontaminasi dengan zat atau bahan berbahaya lainnya atau kontaminasi dengan bahan atau alat yang sudah mengandung bakteri berbahaya. Selain itu penyimpanan bahan makanan yang sudah matang ataupun yang belum juga sangat krusial,” ujar Tirta.

Proses distribusi makanan ke sekolah yang berjarak jauh juga menjadi tantangan tersendiri. Untuk menjaga keamanan pangan, makanan sebaiknya dimasak pada hari yang sama dan disajikan dalam keadaan hangat. Menu mentah seperti karedok atau lalapan sebaiknya dihindari dalam konteks catering massal karena berisiko membawa bakteri.

Menurut dr. Tirta, solusi paling ideal adalah dengan melibatkan kantin sekolah dalam proses penyediaan makanan. Dengan begitu, makanan bisa langsung disajikan tanpa melalui perjalanan panjang yang berisiko menurunkan kualitas dan keamanannya.

Pemilihan dan Pemanfaatan Bahan Pangan

Selain proses pengolahan, pemilihan bahan pangan juga menjadi faktor penting dalam menjaga kualitas gizi dan keamanan makanan. dr. Tirta menegaskan penggunaan bahan lokal yang segar dan mudah dijangkau merupakan langkah strategis untuk memastikan nilai gizi tetap terjaga. Dengan bahan lokal, selain lebih hemat biaya, menu juga dapat disesuaikan dengan kebiasaan konsumsi anak-anak di wilayah masing-masing.

Namun, praktik di lapangan menunjukkan banyaknya menu MBG yang justru didominasi oleh makanan bertepung seperti chicken katsu. Hidangan seperti burger hingga olahan ikan hiu juga turut dihidangkan dalam program ini.

Menurut dr. Tirta, penggunaan tepung sebenarnya tidak salah selama takarannya seimbang dan tetap memperhatikan nilai gizi utama seperti protein dan serat. Ia juga menyoroti penggunaan ikan hiu dalam menu MBG yang dinilai kurang tepat.

“Ikan hiu, sepanjang diolah dengan benar dan memperhatikan aspek keamanan pangan, harusnya tidak jadi masalah. Namun, mengapa harus gunakan ikan hiu padahal secara populasi jenis ikan ini tidak banyak tersedia di alam? Jika yang dikhawatirkan kandungan merkurinya, maka konsumsi hiu tidak boleh rutin dan harus dibatasi,” ujarnya.

Selain itu, penggunaan makanan olahan seperti nugget dan sosis juga sering menjadi perdebatan. dr. Tirta menjelaskan makanan dalam kategori processed food tersebut masih bisa digunakan asal memenuhi standar keamanan dari BPOM serta memiliki label gizi yang jelas.

Ia menyarankan agar pemerintah seharusnya memilih produk yang tinggi protein dan serat serta mengandung tambahan vitamin dan mineral. Sebaliknya, makanan dengan kadar sodium, gula, dan lemak jenuh tinggi sebaiknya dihindari karena dapat berdampak negatif terhadap kesehatan anak bila dikonsumsi rutin.

Dengan keterbatasan anggaran dan logistik, pemanfaatan bahan pangan lokal menjadi solusi paling realistis. Selain memperkuat ekonomi daerah, bahan lokal juga lebih mudah dipantau dari segi kualitas dan keamanan.

Sinergi Sekolah dan Orang Tua Diperlukan dalam Pengawasan

dr. Tirta memaparkan keberhasilan program MBG tidak hanya bergantung pada pemerintah atau penyedia katering, tetapi juga pada sinergi antara sekolah dan orang tua. Sekolah berperan dalam memastikan proses distribusi dan penyajian makanan berjalan sesuai standar kebersihan, sementara orang tua bertugas mendukung pola makan sehat di rumah.

Sekolah juga dapat berperan aktif dengan memberikan laporan rutin terkait kondisi makanan dan respon siswa terhadap menu MBG. Dengan adanya umpan balik langsung dari sekolah dan orang tua, pemerintah dapat melakukan evaluasi dan perbaikan berkelanjutan terhadap kualitas makanan yang disajikan. Pemerintah juga diharapkan dapat memastikan adanya pedoman/standar yang sudah disosialisasikan agar pengelola kateringnya bekerja sesuai standar.

Kolaborasi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat diharapkan dapat memperkuat sistem pengawasan program MBG agar benar-benar berjalan sesuai tujuan awalnya, yaitu memperbaiki status gizi siswa tanpa mengorbankan keamanan pangan.