Bisnis Konsultan
Pada masa lalu, aku pernah menjalankan bisnis konsultan. Segala diskusi dilakukan melalui email. Penghasilannya sekitar Rp 3 juta per bulan karena hanya memiliki satu konsumen. Meskipun jumlahnya tidak besar, penghasilan ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Saat itu, aku telah lulus Teknik Kimia, tetapi belum melanjutkan studi Manajemen Bisnis. Insting bisnisku cukup tajam. Meski bidang pendidikan berbeda, Teknik Kimia mengajarkan prinsip komersialisasi dan industrialisasi yang sangat berguna dalam bisnis.
Dengan cara berpikir Trial and Error, aku berusaha memahami bisnis. Konsumenku memiliki usaha yang berkarakteristik global, namun usahanya jatuh karena melanggar kebijakan pemerintah. Terlalu mengandalkan impor membuat usahanya menjadi tidak stabil.
Kelemahan bisnis konsultan ini adalah kurangnya network untuk mengembangkan bisnis yang dilakukan secara autodidak. Aku terus berusaha menawarkan jasaku, tetapi banyak calon konsumen yang tidak serius dalam mengembangkan bisnis. Beberapa dari mereka hanya tertarik untuk menjalin hubungan personal, bukan profesional.
Suka dari bisnis konsultan ini adalah fleksibilitasnya. Aku masih bisa mencari uang sebagai freelance penerjemah artikel dan membantu usaha Mamaku yang saat itu sedang mengontrakkan rumah dan berjualan kuliner.
Selain itu, bisnis konsultan ini membuatku ingin melanjutkan studi Manajemen Bisnis.
Bisnis Digital
Ketika booming orang-orang berjualan pdf dan memperoleh passive income, aku juga tertarik. Aku membuat pdf tentang tips mencegah kebotakan rambut. Kupikir masalah rambut penting karena terkait kepercayaan diri, sehingga pangsa pasarnya potensial. Kebetulan aku pernah bekerja di bidang herbal, jadi aku memahami gaya hidup sehat.
Namun, bisnis digital ini benar-benar ajaib. Masa tak laku 1 pdf pun? Padahal harganya hanya 8 USD. Saat itu belum ada platform penjualan pdf digital seperti sekarang. Hanya bisa ditawarkan melalui blog atau komunitas pertemanan.
Komentar calon konsumen lucu banget! Menyenangkan hatiku, tapi tidak memuaskan saldoku. Contohnya:
- “Terlambat, aku sudah botaaaaak!!!!”
- “Biar botak, yang penting tamvan!”
- “Coba aku mengenalmu dari dulu, pasti rambutku masih lebat…”
Bukannya dapat konsumen, aku malah banyak memperoleh pesan spam yang ingin uang. Oleh karena itu, aku memasang pengumuman:
HELLO! AKU ENGINEER MISKIN YANG HONORNYA KALAH DENGAN HONOR GAJAH SEWAAN. JANGAN SPAM AKU!!!
Mengapa menggunakan perbandingan honor gajah? Saat itu aku membaca sewa gajah di pantai itu sejam Rp 300 ribu. Jika gajah kerja 8 jam per hari selama sebulan, ia memperoleh Rp 72 juta. Tulisan ini tidak bermaksud mendukung gajah bekerja keras, namun sekedar pemicu diriku bahwa aku harus semangat kerja. Masa kinerjaku kalah dengan gajah…
Membaca pengumumanku, spammer malah merasa tertantang. Tambah banyak saja spamnya. Menurut kawanku, penyebab utamanya adalah foto profilku yang berlatar gorden. Dari foto itu mereka bisa menebak bahwa rumah keluargaku cukup luas. Mengerikan, bukan? Jangan anggap enteng spammer yang super akurat!
Kalau ingat rumah keluarga yang dijual, aku jadi melankolis. Padahal aku menyekat basement untuk menjadi 3 kamar untuk disewakan, membuat kolam ikan nila, dan kebun pisang dari hasil honorku menjadi konsultan bisnis. Sudah tampak cantik, malah dijual. Sedih! Walaupun demikian, karena tampak cantik, harga rumah keluarga jadi lebih mahal.
Bisnis Terjemahan
Selama bertahun-tahun aku bekerja sebagai freelance terjemahan. Aku memang bukan ahli bahasa linguistik, namun senang bahasa Inggris. Walaupun tidak memiliki sertifikasi sebagai penerjemah, aku tetap percaya diri bekerja sebagai translator.
Keunggulan bisnis terjemahan itu pekerjaannya fleksibel. Untuk mengerjakan artikel ilmiah (10-15 halaman) dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris itu, aku biasanya memerlukan waktu 3-5 hari, tergantung tingkat kesulitan seperti istilah, tema, dan lain-lain. Karena sekarang ada AI translator, bisa lebih cepat.
Dukanya itu akibat AI, bisnis terjemahanku hancur lebur. Klienku lebih memilih menerjemahkan sendiri dengan AI translator. Padahal tetap saja jauh lebih rapi hasil terjemahanku. Bagaimanapun bahasa artikel ilmiah itu berbeda. Sebaiknya, menggunakan kalimat majemuk. Isinya harus ringkas.
Bisnis Kuliner Cokelat
Sebagai penggemar cokelat, aku senang membuat brownies dan cokelat beraneka bentuk. Khusus bentuk Patrick, sohibnya Spongebob, aku menggunakan bahan baku milk chocolate berwarna merah muda.
Saat itu aku meminta tolong Dani, adik laki-lakiku untuk menitipkan kuliner cokelat di kantin kampus. Dibanding brownies, cokelatnya jauh lebih laku karena aku membuatnya tanpa campuran apa pun, pure chocolate. Alasan mahasiswi enggan brownies itu takut gemuk.
Entah mengapa Dani tak mau lagi menitipkan di kantin kampus itu. Padahal laris. Bahkan, uang penjualannya pun tak diambil. Misterius!
Aku juga menjual cokelat di rumah. Namun, terjadi huru hara para bocah cilik tetangga saling cekik berebutan cokelat merah muda bentuk Patrick. Mereka tak punya uang jajan. Akhirnya, aku merelakannya. Sedekah untuk para bocil yang tergila-gila cokelat buatanku. Itulah kisah akhir aku berjualan cokelat. Modalnya habis…
Karakteristik Bisnis Milikku Sendiri
Bisnis itu harus mengembangkan network. Terus terang bisnis milikku sendiri itu kurang berkembang karena seluruhnya bertumpu pada diriku sendiri. Selain itu, aku tak berani meminjam uang untuk pengembangan bisnis. Saat itu memang belum belajar Manajemen Bisnis sehingga kupikir aku berbisnis dengan modal seadanya saja.
Saat itu tak mengerti konsep High Risk, High Return. Tak mengerti sistem ekonomi. Namun, penghasilan saat itu jauh lebih memuaskan dibandingkan saat ini.
Seharusnya, aku memiliki team work. Bisnis pun memerlukan mentor. Sementara Mama itu bukan mentor bisnisku karena bidang bisnisnya berbeda.
Bisnis Properti Milik Mamaku
“Aku tidak takut pasang badan. Biar saja aku dipenjara. Yang penting aku sudah menikmati uang,” ujar Dadang sembari menepuk dada dan tertawa riang. Pria periang tersebut ditetapkan menjadi tersangka karena menandatangani transaksi jual beli tanah sengketa.
Dengan nada penuh percaya diri, Dadang melanjutkan perkataannya, “Sudah seharusnya uang pengusaha keturunan bangsa lain itu dinikmati. Kita tak boleh dijajah di tanah nenek moyang kita sendiri.”
“Pak, tetap saja menjual tanah milik orang lain itu melanggar hukum,” timpal Mama. “Aku sudah menyerahkan seluruh surat kepemilikan tanah ke Kurnia. Mengapa aku yang dituduh menggelapkan tanah?”
“Seharusnya, Ibu memang tak tersangkut. Lagipula Kurnia, pengusaha itu juga salah. Tak pernah membayar gaji pegawainya. Usahanya ilegal karena Tindak Pidana Penjualan Orang (TPPO),” komentar Dadang.
Seminggu kemudian, kegagahan diri pria berusia setengah baya itu menghilang. Sembari menangis tersedu, ia memohon pada ibuku dari balik jeruji dingin, “Bu, tolonglah aku! Tak mau dikurung di ruangan isolasi yang hanya bisa rebahan seperti Amar… Jantungku tak akan tahan. Walau bagaimanapun, kita pernah bersahabat. Tolonglah…” Kedua tangannya yang gemetar, meraih tangan ibuku. “Aku sangat menyesal Ibu sampai terseret masalah ini. Maafkan aku…”
“Baiklah, nanti Ibu bicarakan dengan sipir. Tolong Bapak juga akui yang jujur di Pengadilan Negeri bahwa Ibu sama sekali tak terlibat dengan penjualan 40 hektar tanah secara ilegal,” ujar Mama yang ditetapkan menjadi tersangka kasus penjualan 40 hektar tanah. Mama tak ditahan karena bukti tak cukup.
“Tentu, Bu. Tentu. Ganjar dan Dodi, kedua kepercayaan Kurnia itu bekerjasama dengan beberapa anak buah Ibu, termasuk Amar. Bahkan, mereka menyediakan seorang perempuan yang menyamar menjadi Ibu untuk meyakinkan para pembeli tanah.”
Saat itu aku masih berusia 14 tahun. Selama kasus mafia tanah tersebut, aku bertugas membantu Mbok Iyem, asisten rumah tangga Mama yang setia.
Dari mengurus ketiga adikku yang masih kecil hingga memasak makanan, termasuk makanan rantangan untuk dikirim ke penjara. Saat dipenjara tak ada satu pun orang yang menengok Dadang, termasuk keluarganya sendiri.
“Bu, nanti uangnya dimasukkan saja ke dalam nasi. Uang makan yang dua hari lalu Ibu beri itu direbut sesama tahanan,” keluh Dadang pada Mama.
Awalnya, bisnis tanah menggiurkan. Namun, potensi berhadapan dengan mafia tanah begitu besar. Modusnya, mafia tanah bekerjasama dengan oknum Pemerintah Desa atau Kelurahan, oknum BPN, dan oknum aparat sehingga memudahkan merebut properti.
Bisnis properti dengan Kurnia sangat merugikan. Properti Mama seluas 1.200 m2 dengan bangunan pendopo seluas 500 m2 dieksekusi di bawah ancaman. Kini harga tanah tersebut Rp 5 juta per m2. Propertinya terletak di sebrang Salam Permaculture, Kota Bogor. Begitulah dukanya menjalankan bisnis properti bagian pengadaan lahan. Selain ancaman hukum, nama baik yang rusak, harus menanggung kerugian properti direbut begitu saja tanpa eksekusi Pengadilan.
Sukanya memiliki bisnis properti ialah memperoleh untung yang cukup besar. Bisa membantu menjualkan tanah milik warga dengan harga yang layak, misalnya yang ingin naik Haji.
Sebelum terlibat bisnis dengan Kurnia, bisnis properti Mama itu menguntungkan. Biasanya, Mama membeli tanah-tanah kebun dan sawah. Merapikan dan menanami lahan tersebut sehingga tampak hijau dan menarik. Kemudian, menjualnya dengan harga yang menguntungkan. Rumah pendopo itu dibangun dari hasil bisnis properti yang tak berkaitan dengan Kurnia.
Apakah Kurnia bahagia setelah merebut properti hak milik Mama? Usahanya jatuh bangkrut.
Hingga sekarang rumah pendopo itu tegak berdiri walaupun tampak kusam dan menyedihkan. Menunggu pemilik sahnya yang tak pernah lagi bisa memasukinya.
Bagiku, rumah pendopo itu menjadi monumen bahwa dalam bisnis, kawan itu bisa menjadi lawan. Manajemen risiko harus diimplementasikan agar tak mendatangkan kerugian.
Seharusnya, Mama itu membuat surat berkekuatan hukum di Kantor Notaris bahwa Mama telah menyerahkan segala bukti kepemilikan lahan ke Kurnia dan tak lagi bertanggungjawab atas lahan tersebut.
Bisnis Kuliner Sarapan Milik Mama
“Apakah nasi kuning ini Halal?” tanya Intan dengan pandangan mata sesinis ular kobra. “Masa bisa gurih seperti ini? Jangan-jangan pakai lemak babi.”
“Tentu saja Halal,” jawabku dengan nada sedatar tembok. “Nasi kuning gurih berkat santan kelapa.”
Intan saling mengedipkan mata penuh arti dengan kedua kawan perempuannya. Selama seminggu kemudian, nasi kuning tak laku karena isu Halal. Padahal hasil penjualan untuk ongkos berobat adik bungsuku.
Sukanya berjualan nasi kuning karena perputaran uang cepat. Dukanya, lelah (masaknya lama) dan konsumen kadangkala ceriwis.



