Di era gaya hidup cepat kini, kemudahan dan rasa enak jadi prioritas utama. Tapi benarkah makanan dan minuman kemasan memberikan “praktis” tanpa konsekuensi? Nyatanya, penelitian global dan data lokal menunjukkan: harga yang dibayar sangat mahal — yaitu kesehatan kita.
1. Apa Itu “Ultra-Processed Food”?
Gizi modern mengenal istilah ultra-processed food (UPF): makanan minim bahan asli, diproses industri, dan dipenuhi gula, garam, lemak, serta pengawet. Ini mencakup sereal manis, keripik, minuman ringan, makanan siap saji, dan sejenisnya.
Bukan sekadar teori. Di AS, derivatif seperti gula tambahan dan kalori “kosong” mencapai 90% dari asupan harian—penyumbang utama obesitas .
2. Risiko Kesehatan yang Semakin Terungkap di Dunia
A. Obesitas & Penyakit Metabolik
Sebuah studi BMJ 2019 menemukan konsumen UPF cenderung makan 500 kalori lebih per hari dan naik hampir 1 pound (0,45kg) dalam 2 minggu—meskipun kalori total setara dengan makanan sehat . Organisasi Kesehatan Dunia juga menegaskan: obesitas, diabetes, penyakit jantung, dan kanker meningkat seiring konsumsi tinggi UPF.
B. Stroke & Demensia
Studi Harvard (Neurology) pada 30.000 an orang dewasa selama 11 tahun menemukan hubungan konsumsi UPF dengan meningkatnya kasus stroke dan gangguan kognitif.
C. 32 Penyakit Terkait
Meta-analisis BMJ memetakan 32 kondisi, mulai dari tekanan tinggi, kanker, gangguan pencernaan, hingga gangguan mental—semuanya terkait konsumsi bahan ultraproses.
3. Dampak di Indonesia: Camilan Lokal, Bahaya Serupa
A. Kebiasaan Buruk Sejak Dini
Survei SKI 2023 menunjukkan:
*73,8% serbuk penyedap harian
*47,5% minuman manis sehari
*37,4% gorengan
*33,7% makanan manis
*30,4% makanan asin
Anak usia 3–14 tahun adalah yang tertinggi konsumsi minuman dan camilan manis.
B. Risiko Obesitas & Diabetes Anak
Program MBG 2025 yang menyediakan “makanan bergizi” justru terbukti banyak mengandung gula tambahan—72% dari batas harian rekomendasi WHO . Riset BMJ mencatat anak usia prasekolah yang sering mengonsumsi UPF cenderung mengalami obesitas dan tanda-tanda dini penyakit metabolik—bahkan stroke di kemudian hari mungkin dipicu sejak awal.
C. Lingkungan Digital yang Memicu Konsumsi
Marketing digital kini jadi senjata ampuh produsen snack kemasan. Sebuah studi menunjukkan bahwa mayoritas produk kemasan promosi digital melampaui batas WHO untuk kadar lemak, garam, dan gula, serta sukses menarik perhatian anak-anak.
4. Bagaimana Makanan Kemasan “Membunuh” secara Perlahan?
*Kecanduan kimiawi: MSG, pemanis, garam dalam kemasan menstimulasi pusat penghargaan di otak—mirip mekanisme zat adiktif .
*Kekurangan gizi sejati: Minim zat gizi, serat, vitamin—sehingga tubuh butuh lebih banyak makanan untuk merasa kenyang, memicu kelebihan kalori.
*Dampak kognitif: Pola makan tinggi UPF memicu resistensi insulin di otak—berisiko kelebihan berat badan, diabetes, dan gangguan daya ingat.
*Meningkatkan risiko kronis: Tekanan darah tinggi, kolesterol buruk, radikal bebas, kanker—semuanya disinyalir berkaitan dengan konsumsi UPF tinggi .
5. Solusi Realistis: Bukan “Haramkan”, tapi Kendalikan
a. Kurangi, jangan sepenuhnya hilangkan
Para ahli menyarankan metode 80:20—80% makanan olahan minimal, 20% boleh sebagai “guilty pleasure”.
b. Edukasi dan label yang jelas
Indonesia kini menguji coba label “lampu lalu lintas” (traffic light labels) dan tanda peringatan. Anak-anak tanggap dengan label tersebut dan sadar akan bahayanya.
c.Atur iklan digital
Contoh Denmark dan Nigeria berhasil membatasi iklan produk makanan tidak sehat untuk anak—Indonesia perlu menyusul.
d.Dukung makanan rumah
Dorong masyarakat untuk kembali konsumsi makanan rumahan berbahan alami, beragam, dan penuh nutrisi.
6. Ambil Langkah dari Diri Sendiri
*Baca label! Pilih produk rendah lemak jenuh, gula, dan garam .
*Camilan sehat: pilih buah, kacang panggang, popcorn tanpa minyak .
*Masak sendiri: lebih aman, bergizi, dan bisa dikontrol kandungannya.
*Batasi konsumsi kemasan anak: hindari cemilan instan pada menu harian anak.
Kesimpulan
Makanan dan minuman kemasan memang praktis dan menggugah selera — tetapi efeknya ke tubuh sangat nyata. Dari obesitas, stroke, diabetes, hingga risiko kanker dan gangguan saraf, semuanya bisa dipicu oleh konsumsi tinggi ultra-processed food. Data global dan nasional menunjukkan tren ini makin mengkhawatirkan, khususnya di kalangan anak dan remaja.
Namun, solusi bukan hanya dikampanye konsumsi sehat. Dengan regulasi label yang lebih tegas, kebijakan iklan yang lebih ketat, edukasi nutrisional, dan kebiasaan masak sendiri, kita bisa menjaga diri, keluarga, dan generasi masa depan tetap sehat — tanpa harus sepenuhnya mengorbankan rasa dan kemudahan. Pada akhirnya, makanan yang paling baik adalah yang dibuat oleh tangan kita sendiri.
#SalamLiterasi



