Tantangan dan Strategi Transformasi Sistem Pangan Nasional
FAO memperkirakan bahwa harga pangan akan terus meningkat dalam satu dekade ke depan, mengingat situasi ketidakpastian global yang semakin kompleks. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga ketersediaan pasokan makanan dengan harga yang terjangkau. Selain itu, sistem pangan nasional juga harus tetap berkelanjutan meskipun menghadapi tekanan dari kondisi ekonomi global yang tidak stabil.
Sistem pangan mencakup seluruh rantai mulai dari hulu hingga hilir, termasuk input pertanian, distribusi, penyimpanan, pengolahan, konsumsi, hingga limbah. Dalam konteks ekonomi nasional, sistem pangan memiliki hubungan yang luas dan langsung berdampak pada inflasi, Produk Domestik Bruto (PDB), pertumbuhan ekonomi, serta kesempatan kerja.
Inflasi Pangan dan Dampaknya pada Masyarakat
Volatilitas harga pangan seperti beras, minyak goreng, cabai, daging ayam, dan telur sering menjadi pemicu kenaikan inflasi. Beberapa komoditas ini biasanya dikaitkan dengan inflasi pangan yang bersifat bergejolak. Inflasi pangan tersebut juga memberi dampak terhadap 40% penduduk menengah ke bawah, yang sebagian besar alokasi konsumsinya adalah untuk kebutuhan pangan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian pada 2024 menyumbang pembentukan PDB sebesar 12,6% dan berkontribusi terhadap penyediaan lapangan pekerjaan sebesar 28,2%. Bahkan saat terjadi resesi akibat pandemi Covid-19, sektor pertanian masih mampu tumbuh sebesar 1,77% pada 2020 dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 13,7%. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian memiliki peran strategis sebagai penyangga ekonomi nasional.
Tantangan Struktural dan Ketergantungan Impor
Dalam dua tahun terakhir, dunia mengalami tekanan global akibat konflik Rusia-Ukraina, fenomena El Nino, serta pembatasan ekspor dari negara-negara penghasil komoditas pangan. Akibatnya, harga komoditas pangan dan energi terus meningkat, termasuk harga Saprotan (sarana produksi pertanian) yang menjadi input penting bagi sektor pertanian.
Ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan dan Saprotan masih cukup tinggi. Beberapa jenis impor pangan yang signifikan antara lain gandum, gula, kedelai, daging, bawang putih, dan beras. Selain itu, Indonesia juga masih mengimpor pupuk kimia. Situasi ini membuat Indonesia rentan terhadap guncangan pasar global, yang bisa berdampak pada kekurangan pasokan dan kenaikan inflasi dalam negeri.
Selain itu, tantangan struktural dalam sistem pangan nasional masih menjadi hambatan. Perkembangan laju pertumbuhan sektor pertanian Indonesia terus menurun sejak 2018 hingga 2024. Pada 2018, laju pertumbuhan sektor pertanian tercatat sebesar 3,89%, namun turun menjadi hanya 0,67% pada 2024. Ancaman terhadap kapasitas produksi meliputi penyusutan lahan pertanian, fenomena land fatigue akibat penggunaan jangka panjang pupuk kimia, krisis regenerasi petani, serta perubahan iklim.
Langkah Strategis untuk Transformasi Sistem Pangan
Melihat keterkaitan sistem pangan dengan ekonomi nasional dan tantangan global, transformasi sistem pangan yang resilient dan berkelanjutan sangat diperlukan. Berikut beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan:
Pertama, peningkatan produktivitas pangan melalui penggunaan teknologi dan inovasi. Teknologi dapat membantu mengatasi keterbatasan lahan, fenomena land fatigue, serta penggunaan input produksi. Peningkatan produktivitas akan menghasilkan produksi yang optimal dan memadai untuk kebutuhan nasional.
Kedua, diversifikasi dan ketahanan pangan lokal. Mengurangi ketergantungan terhadap sumber pangan tertentu, seperti beras, dengan pengembangan pangan lokal sebagai alternatif. Program MBG di sekolah dapat diintegrasikan dengan penggunaan pangan lokal, sehingga menciptakan permintaan yang positif untuk skala produksi pangan lokal.
Ketiga, hilirisasi dan penguatan industri pangan nasional. Nilai tambah sektor pertanian masih rendah. Hilirisasi produk pertanian melalui pengolahan, pengemasan, dan distribusi dapat meningkatkan nilai tambah, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan petani.
Keempat, pengembangan sistem logistik dan cadangan pangan yang efisien. Ketersediaan gudang, sistem distribusi berpendingin, dan pelabuhan pangan sangat penting untuk memperpendek rantai distribusi dan menekan disparitas harga. Pemerintah perlu mendorong investasi swasta melalui insentif fiskal dan kemitraan publik-swasta.
Kelima, percepatan regenerasi petani. Saat ini, Indonesia menghadapi penuaan petani. Berdasarkan Sensus Pertanian 2023, proporsi petani di atas 45 tahun mencapai 66,44%. Percepatan regenerasi petani diperlukan agar sektor pertanian tetap dinamis dan menarik generasi muda.
Transformasi sistem pangan yang resilient dan berkelanjutan bukan hanya tanggung jawab petani, tetapi harus menjadi agenda nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Sistem pangan yang kuat dan tangguh merupakan fondasi untuk membangun ekonomi yang kuat, inklusif, dan berdaulat.